...Dingin dan gelap mengajariku membaca dan mengeja, tentang gemerlap siang dan lukanya yang memar namun samar. Tentang konspirasi dasi-dasi yang menyampuli racunnya dengan kitab & membelokkan jalur benar yang sudah terpetakan. Mereka ada dalam akar, menjelma air di kedalaman batang... hingga pepucuk daun di ketinggian, dan kita dibawahnya tersamarkan ranting-ranting otoritasnya yang menjulang, rindu kebiruan langit dan cahaya...

Kamis, 19 Agustus 2010

LOGIKA AL QUR'AN BAGIAN 1


Melihat keberadaan Al Qur'an saat ini sangatlah ironis ketika suatu pedoman hidup yg haq pada akhirnya menjadi sebuah buku panduan ibadah ritual saja bahkan menjadi suatu hal yg tabu dan dikeramatkan secara berlebihan oleh sebagian orang. Padahal Al Qur'an adalah petunjuk yang mutlak kebenarannya bagi orang orang yang bertaqwa dan bahasa yang disajikan adalah bahasa yang mudah dipahami, bukan hanya bahasa yang dapat dimengerti oleh sebagian orang yang memiliki ilmu tinggi di bidangnya. Mengapa demikian? karena patokan sebuah "petunjuk" bisa dikatakan "petunjuk" apabila memang benar adanya dan bahasa yang digunakan adalah bahasa yang mudah dicerna, sehingga tidak jadi memberatkan, atau malah menyesatkan.

“Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan didalamnya, sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa” (QS. Al Baqarah:2)

“Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur'an dalam bahasa Arab supaya kalian berfikir.” (QS. Az-Zukhruf:3)

“ (Al-Qur’an) diturunkan dengan (menggunakan) bahasa arab yang jelas.” (QS. Asy-Syu’ara: 195)

“Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. “(Q.S. An Naml:77)

“Dan sesungguhnya telah Aku mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS.Al Qamar:17)

Sebelum beranjak pada pengolahan pola pikir yang lebih jauh alangkah lebih baiknya kita mendasari pemikiran kita dengan satu kepercayaan yang semestinya mutlak ada dalam benak kita, yaitu Al Qur'an benar benar wahyu yang diturunkan oleh Alloh melalui perantara Rasululloh Muhammad. Dalam hal ini saya tidak bermaksud untuk meragukan keimanan saudara saudara terhadap kebenaran Al Qur'an. Tetapi kami sebagai penulis hanya ingin menyamakan definisi sebuah keyakinan dimana apabila kita meyakini suatu hal yang dianggap benar maka hal tersebut haruslah dapat dibuktikan kebenarannya, contoh :

1. Saya seorang siswa yang sedang berada di kantin sekolah, tapi saya yakin di ruangan perpustakaan ada 6 orang siswa yang sedang membaca buku. Keyakinan seorang siswa diatas yang sedang berada di kantin sekolah haruslah dapat dibuktikan kebenarannya bahwa di ruangan perpustakaan terdapat 6 orang siswa yang sedang membaca buku, bukan dikira-kira ataupun menurut pada perasaan (dzon) belaka. Caranya yaitu dengan meyakinkan diri mendatangi ruang perpustakaan dan melihat berapakah jumlah siswa disana yang membaca buku. Hal tersebut barulah dapat disebut sebagai keyakinan.

2. Saya adalah seseorang yang ingin membeli buah mangga dan orang tua saya meyakinkan saya agar membeli buah mangga di pedagang buah yang ada di pasar. Adakalanya seorang pedagang memaksakan suatu keyakinan terhadap pembeli bahwa buah yang ia jual itu manis rasanya, tapi terkadang kenyataannya tidak selalu sesuai dengan yang dikatakan, maka baiknya kita mencoba dulu buah mangga yang akan kita beli apakah manis rasanya ataukah asam. Dan bilamana kita sudah mencobanya dan hasilnya manis maka dapatlah dikatakan bahwa keyakinan kita terhadap buah mangga itu benar adanya bahwa rasanya adalah manis.

Mungkin saudara saudara bertanya mengapa dalam beberapa kalimat diatas saya terkesan sangat berlebihan sekali dalam mengutip satu kata yaitu “keyakinan”, karena dalam hal ini saya sedang mencoba mengajak kembali untuk sama sama belajar mengenali keyakinan kita, hingga akhirnya timbul suatu pertanyaan dalam benak kita, “apakah benar keyakinan kita terhadap kebenaran Al Qur’an adalah mutlak adanya dan dapat dibuktikan?”

Kata ‘aql adalah mashdar (kata benda-kerja, verbal noun) dari kata kerja aqala-ya’qulu, yang berarti “menggunakan akal” atau “berpikir”, dan yang dimaksudkan dengan akal ialah pembawaan naluri atau gharizah yang diciptakan Allah dalam diri manusia, yang dengan naluri itu ia berpikir.

Diantara ayat-ayat Al Qur’an yang menerangkan tentang akal antara lain sebagai berikut.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang berakal”(Q.S. Al-Baqarah: 164).

Melihat keterangan ayat di atas dapat dikatakan bahwa akal adalah daya pikir yang ada pada manusia yang mampu digunakan untuk mengelola isi alam dengan segala pristiwanya. Al-Maraghi dalam tafsirnya juz 2, menerangkan ayat di atas bahwa pada semua gejala itu terdapat petunjuk bagi orang-orang yang berpikir untuk mengetahui watak dan rahasia-rahasianya. Dengan demikian dapat dibedakan antara yang bermanfaat dan membahayakan, disamping dapat diketahui betapa teliti dan halusnya kekuasaan Maha Pencipta. Akhirnya akan sampai pada kesimpulan bahwa yang menciptakan semua ini berhak untuk disembah dan ditaati.

Jadi keyakinan kita terhadap kebenaran Qur’an bukanlah semata mata karena :

1. Kita terlahir dari seorang ibu (orang tua) yang Islam, lantas secara otomatis kita meyakini Al Qur’an sebagai pedomannya.

Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul." Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya." Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?. (QS. Al Maidah: 104)

2. Kita terlahir di lingkungan yang mayoritas Islam, sehingga kita menurut kepada pendapat kebanyakan orang.

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” [QS.al-An'am: 116]

3. Kita mendengar ucapan seorang Ustadz, Kyai, Ulama, ataupun Clan keilmuan lainnya karena pada dasarnya banyak diantara golongan mereka yang berpikir dengan dzon (hawahunya) dikarenakan mereka hanyalah manusia biasa yang tidak bisa lepas dari kesalahan dan kepentingannya. Sehingga di sisi lain timbul banyak sekali perbedaan pendapat tentang suatu hal yang dikarenakan adanya campur tangan kepentingan ulama ulama yang berbeda golongan.

Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu." Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu. (Al Maa'idah:68)

Dan tidak sedikit dari golongan mereka yang tidak memiliki furqon/ pembatas antara mana yang haq dan mana yang bathil sehingga mereka adalah ulama yang meremehkan dakwah kepada tauhid yang menjadi dasar agama Islam. Mereka merasa cukup mengajak manusia mengerjakan shalat, memberikan penjelasan hukum dan berjihad, tanpa berusaha meluruskan aqidah umat Islam. Seakan mereka belum mendengar firman Allah Subhanahu wata'ala :

"Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan." (Al-An'am: 88)

Dan timbul pula budaya da’i sebagai salah satu profesi yang pada hakikatnya sama saja dengan memperjualbelikan ayat Alloh

Janganlah kamu memperjualbelikan ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. (QS. Al-Baqarah (2): 41).

4. Menurut pada budaya dan tradisi nenek moyang atau leluhur.

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS. Al Baqoroh : 170)

5. Menurut pada prasangka (dzon), hawa nafsu, dan hipotesa (olah pikir) yang tidak mendasar pada aturan yang benar.

''Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali prasangka saja. Sesungguhnya prasangka itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.'' (QS 10: 36)

“Dan orang-orang yang menyeru sekutu-sekutu selain Allah, tidaklah mengikuti suatu keyakinan. Mereka tidak mengikuti kecuali prasangka belaka, dan mereka hanyalah menduga-duga.'' (QS 10: 66)

Oleh karena itu Alloh menurunkan potensi berupa akal pikiran kepada manusia, dimana akal ini berfungsi sebagai tolak ukur analisa kita terhadap isi Al Qur’an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar